Monday, June 14, 2010

Nilai Seharga Rp 25.000

Sekadar informasi, aku menulis ini karena sudah jenuh dalam mempelajari bahan UAS yang sangat banyak, ratusan slide, dan aku juga belum menyusun proposal penelitian yang akan dikumpulkan BESOK. Bagus sekali, setelah menjadi mahasiswa pun aku tetap berprinsip pada SKS (Sistem Kebut Semalam). Jangan ditiru.

Aku sekarang hanya ingin berbagi kekesalan (mungkin lebih tepat dikatakan keheranan yang mendalam). Kenapa? Hal ini berawal pada hari Senin, 14 Juni 2010, ketika aku baru selesai mnegerjakan ujian Komunikasi Pemasaran Terpadu (soalnya pilihan ganda dan ada kunci jawaban yang ditandai dengan titik koma di akkhir pilihannya -___-" ).
Jadwal ujianku berikutnya adalah Kewarganegaraan. Dosenku adalah dosen dari Fakultas Filsafat, sehingga tidak heran jika materi kuliahnya berbau filsafat, ilmu yang menjadi dasar semua ilmu tapi aku sangat tidak menyukainya.

Singkat cerita, aku mendapat kabar bahwa kita (aku dan anak Komunikasi yang akan mengikuti ujian Kewarganegaraan) dianjurkan untuk memiliki buku Bapak Dosen Filsafat itu. Aku pun tenag saja karena aku sudah punya fotokopian buku itu, judulnya Filsafat dan Ideologi Pancasila. Buku itu sudah aku fotokopi sejak lama. Tapi ternyata, salah satu temenku yang membeli buku itu di Front Office FISIPOL mengatakan bahwa saat kita membeli buku itu nama dan nim kita dicatat. Aku pun bingung, maksudnya apa hanya untuk membeli buku saja nama dan nim harus dicatat? Saat aku tanya berapa harganya temanku menjawab Rp 25.000.

Kabar itu pun langsung dengan cepat menyebar di antara anak Komunikasi 2009. Kami pun memutuskan beramai-ramai ke FO dan memastikan kebenarannya. DAN HAL ITU BENAR. Kebingunganku berubah seketika menjadi emosi. MAKSUDNYA APA? Kalau kita dianjurkan memilki buku itu, bukan berarti kita harus membelinya bukan? Bagaimana dengan aku yang sudah punya fotokopiannya? Apakah aku harus membelinya lagi dengan harga yang berkali lipat? AKU TIDAK MAU. Prinsipki sebagai mahasiswa perantauan yang memiliki batas uang saku adalah bagaimanapun caranya aku harus terus kuliah dengan biaya seminimal mungkin. Jadi menurutku tidak salah aku punya fotokopiannya (kalau memang masalah royalty yang dipentingkan). Tapi aku seperti menyadari sesuatu yang lain. Untuk apa seorang mahasiswa membeli buku YANG DIKARANG OLEH DOSENNYA SENDIRI dan nama serta nim harus dicatat? Apakah ada pengaruhnya untuk mendongkrak nilai ujian? teman-temanku yang lain pun terpengaruh, bahkan ada salah seorang diantaranya yang mengatakan kepada petugas FO, " saya mau beli nilai !". Hahahaha. Ini yang dinamakan pendidikan di kampus ternama?

Yang aku sesalkan adalah dosenku ini pernah menulis artikel di koran yang judulnya Pendidikan yang Mengindonesia. Ini yang ia maksud sebagai pendidikan yang sesungguhnya? Membeli buku yang beliau karang dengan alasan sebagai bahan ujian akhir dan mencatat nama dan nim? Aku kesal. Mbok ya kalo sudah seperti itu janganlah jadi orang yang tahu budaya dengan baik. Budaya seperti ini salah Bapak Dosen Filsafat. Ini bukan pendidikan. Anda orang yang paham sekali kan hal-hal seperti ini, tapi kenapa Anda melakukannya? Setelah aku bertanya pada seniorku, ternyata ia memang telah menerapkan sistem ini sejak lama.

Aku hanya berharap bahwa apa yang aku pikir dan rasa dalam tulisanku kali ini hanyalah prasangka. Tapi apbila itu benar, aku hanya mampu menggelengkan kepala. Bukannya munafik, aku hanya tidak habis pikir, apakah seperti ini pendidikan yang berlaku sekarang?

Mohon maaf apabila ada yang tersinggung, aku bukan bermaksud menjelekkan. Aku hanya mengeluarkan pendapat yang ada di benakku sendiri.

0 comments:

Post a Comment

 

Blog Template by YummyLolly.com