Wednesday, June 9, 2010

Musik Instingtif nan Atraktif

Alunan melodi trio akustik eklektik saling bertaut menyuguhkan atraksi musik yang ciamik.


Lampu beraneka warna menghiasi panggung menggantikan kegelapan pekat yang merebak sesaat. Siluet tiga orang manusia setinggi lima meter melayang-layang di permukaan dinding batu Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta (TBY), mengikuti gerakan empunya. Campuran siluet dan lampu aneka warna itu bergabung membentuk tiruan video yang cantik. Emulasi video itu menjadi backdrop bagi penampilan trio akustik eklektik, The Trees and The Wild (TTaTW), dalam helatan Fallentine #3: Hasta Mañana—2 April lalu.

Acara yang rutin diadakan setiap tahunnya oleh Forum Musik Fisipol (FMF) UGM ini memancang kalimat, Yeah, it’s (never) too late to celebrate, sebagai slogan utama pesta. Sebuah slogan yang menegaskan bahwa Fallentine #3: Hasta Mañana adalah negasi bagi perayaan valentine, 14 Februari lalu. Bunga serta coklat yang biasa menjadi objek utama upacara diambil alih perannya oleh petikan gitar dan alunan musik. Lima band indie dipatok sebagai penghibur ratusan pengunjung yang memenuhi Amphiteater TBY malam itu.

TTaTW sendiri, sang primadona acara, seolah tampil merefleksikan namanya; teduh namun sesekali liar. Ekshibisi pertama mereka di Jogja ini dibuka dengan hentakan aroma jazzy pada lagu Berlin. Gelombang tepukan surut sejenak sebelum menggelora lagi ketika penonton digoda dengan alunan Malino, yang terdengar seumpama gemerisik ombak. Sebuah lagu indah tentang sebuah kerinduan, yang tercipta di tengah kelalaian sebuah kewajiban jadwal latihan,…—tulis personel band ini di situs jejaring sosial mereka.


Kata yang menjadi lagu berikutnya—dari delapan lagu yang dibawakan—sedikit menurunkan performa apik yang sedang dibangun. Suara sang vokalis, Remedy, terkesan sengau dan menggumam pada setlist ketiga dari TTaTW ini. Namun, kesan ini langsung terhapuskan ketika Honeymoon on Ice, yang terasa sedingin judulnya, mengalun. Lagu yang tercipta melalui impresi TTaTW terhadap film Eternal Sunshine of Spotless Mind ini kembali merebakkan euforia penonton. Noble Savage menambah ramai suasana dengan nuansa folk sebelum lagu berikutnya dihadirkan.

Gemuruh euforia penonton semakin menjadi-jadi saat TTaTW menyuguhkan unsur etnik pada nomor mereka selanjutnya; Our Roots. Lagu instrumental yang diawali dengan suara senandung perempuan—backing vocal TTaTW —ini cukup menghipnotis para penonton. Ketenangan menjelma menjadi gemuruh tepukan seketika saat penonton dikejutkan oleh not-not pentatonik yang dimainkan hingga menghadirkan suasana keroncong. Pesona keroncong yang menggelora pada Our Roots ditutup dengan deting gitar tempo cepat. Irama jaz muncul kembali kala Irish Girl dilantunkan. Performa apik mereka ditutup dengan ritme indah Derau dan Kesalahan yang diakhiri dengan deru petikan gitar akustik.

Eklektik, atau memilih yang terbaik dari berbagai sumber, tampaknya adalah kata ideal untuk menggambarkan tipe musik yang diusung TTaTW. Dengan meramu bermacam-macam jenis musik menjadi satu, Rasuk—album perdana mereka—lepas dari keterbatasan genre. TTaTW layaknya seekor gajah, dalam anekdot tiga orang buta yang mencoba mendeskripsikan gajah. Mereka membebaskan pendengar melabeli diri mereka sesuai dengan impresi setiap individu. “Memang dari awal enggak pernah nentuin aliran musiknya adalah ini atau ini. Bebas: kita main musik aja, enggak mikirin yang aneh-aneh,” tutur Remedy Waloni, sang vokalis.

Sebagai eklektikus TTaTW terbilang cukup unik. Bila eklektikus lain memilih segala hal dengan penuh pertimbangan, TTaTW sepenuhnya mengandalkan intuisi. Pemilihan nama contohnya, Remedy menuturkan alasan memakai The Trees and The Wild sebagai nama berawal dari kebutuhan akan nama band saat tampil di kampus. “Waktu itu butuh nama band, pengennya nama band-nya tuh panjang, terus kita ambil dari judul lagu Matt Pond PA; yang terkesan mistis gimana gitu,” tutur Remedy kepada BALAIRUNG selepas penampilan mereka.

Hal menarik lain adalah ketika kata The Trees and The Wild diketik di mesin pencari. Nama John Mayer acap kali muncul dalam artikel atau resensi tentang TTaTW. Suara Remedy yang dianggap mirip dengan penyanyi asal Amerika itu menjadi sebabnya. TTaTW dengan tegas menyanggah egalisasi tipe vokal ini, “John Mayer pun belum tentu bernyanyi seperti Remedy saat membawakan Malino,” gurau Iga Massardi, salah satu personel TTaTW. Penyamaan ini menunjukkan bahwa kritikus-kritikus musik Indonesia masih terjebak pada proses kolase—membanding-bandingkan untuk menentukan yang asli. Para kritikus dan reviewer memandang musik TTaTW bukan sebagai karya baru yang fresh from the oven, melainkan karya epigon semata. Mereka lupa bahwa ada predikat indie yang melekat pada TTaTW. Sebuah label yang menegaskan bahwa musik TTaTW bukanlah musik epigon raja-raja RBT, yang biasa berkicau di acara televisi pagi hari.

Penampilan TTaTW di Amphiteater TBY sendiri secara keseluruhan cukup memukau. Namun, performa yang apik itu masih diwarnai problem konvensional band indie; kontak dengan penonton. Band dan penonton bisa saling berkomunikasi bila lagu dan lirik familiar bagi mereka. Sebuah persyaratan yang belum dipenuhi oleh TTaTW, karena tak semua pengunjung hafal lagu mereka. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi bila TTaTW lebih atraktif untuk mengajak penonton bernyanyi bersama pada Derau dan Kesalahan yang anthemic. Bagaimana performa band akustik eklektik ini selanjutnya? Hasta Mañana—tajuk dari acara—seolah menjawabnya. Sebuah idiom, dari bahasa Spanyol, yang sering diusung oleh TTaTW dalam pertunjukannya, yang berarti: “sampai bertemu besok”.

[Ratri, Apé, Pepri]

Artikel ini dapat dilihat juga di http://www.balairungpress.com/content/musik-instingtif-nan-atraktif

0 comments:

Post a Comment

 

Blog Template by YummyLolly.com