Friday, June 18, 2010

Ya Allah…
Aku memang bukan Einstein
Aku juga bukan Mark Zuckenberg
Aku bahkan bukan orang yang suka menjadi nomor 1
Tapi aku ingin, aku bermimpi

Ketika aku bertanya pada diri sendiri
Apakah aku cerdas? Biasa saja
Apakah aku kritis? Tidak terlalu
Apakah aku memiliki pemikiran yang hebat? Tidak juga

Tapi ketika aku bertanya
Apakah aku punya mimpi? YA
Apakah aku punya tujuan? YA
Apakah aku punya bayangan seperti apa aku di masa depan? YA

Ya Allah
Aku mungkin bukan orang yang cerdas, tapi aku punya mimpi untuk menjadi seperti Einstein
Aku mungkin orang yang gagap teknologi, tapi aku punya mimpi untuk menjadi seperti Zuckenberg
Aku mungkin bukan orang yang kritis, tapi aku punya mimpi untuk memiliki pandangan yang kritis

Saat ini, aku hanya memiliki
Mimpi yang siap untuk diwujudkan
Imajinasi dan bayangan yang menjadi langkah untuk menggapai mimpi
Semangat untuk belajar dan lebih baik
Dan rasa PERCAYA dan YAKIN bahwa aku cerdas, aku kritis, aku kreatif, aku mahir teknologi, aku memiliki pandangan yang hebat, serta aku aku lainnya yang siap diwujudkan
Aku punya RAHASIA itu. Aku pasti mampu. Aku PERCAYA.

Monday, June 14, 2010

Nilai Seharga Rp 25.000

Sekadar informasi, aku menulis ini karena sudah jenuh dalam mempelajari bahan UAS yang sangat banyak, ratusan slide, dan aku juga belum menyusun proposal penelitian yang akan dikumpulkan BESOK. Bagus sekali, setelah menjadi mahasiswa pun aku tetap berprinsip pada SKS (Sistem Kebut Semalam). Jangan ditiru.

Aku sekarang hanya ingin berbagi kekesalan (mungkin lebih tepat dikatakan keheranan yang mendalam). Kenapa? Hal ini berawal pada hari Senin, 14 Juni 2010, ketika aku baru selesai mnegerjakan ujian Komunikasi Pemasaran Terpadu (soalnya pilihan ganda dan ada kunci jawaban yang ditandai dengan titik koma di akkhir pilihannya -___-" ).
Jadwal ujianku berikutnya adalah Kewarganegaraan. Dosenku adalah dosen dari Fakultas Filsafat, sehingga tidak heran jika materi kuliahnya berbau filsafat, ilmu yang menjadi dasar semua ilmu tapi aku sangat tidak menyukainya.

Singkat cerita, aku mendapat kabar bahwa kita (aku dan anak Komunikasi yang akan mengikuti ujian Kewarganegaraan) dianjurkan untuk memiliki buku Bapak Dosen Filsafat itu. Aku pun tenag saja karena aku sudah punya fotokopian buku itu, judulnya Filsafat dan Ideologi Pancasila. Buku itu sudah aku fotokopi sejak lama. Tapi ternyata, salah satu temenku yang membeli buku itu di Front Office FISIPOL mengatakan bahwa saat kita membeli buku itu nama dan nim kita dicatat. Aku pun bingung, maksudnya apa hanya untuk membeli buku saja nama dan nim harus dicatat? Saat aku tanya berapa harganya temanku menjawab Rp 25.000.

Kabar itu pun langsung dengan cepat menyebar di antara anak Komunikasi 2009. Kami pun memutuskan beramai-ramai ke FO dan memastikan kebenarannya. DAN HAL ITU BENAR. Kebingunganku berubah seketika menjadi emosi. MAKSUDNYA APA? Kalau kita dianjurkan memilki buku itu, bukan berarti kita harus membelinya bukan? Bagaimana dengan aku yang sudah punya fotokopiannya? Apakah aku harus membelinya lagi dengan harga yang berkali lipat? AKU TIDAK MAU. Prinsipki sebagai mahasiswa perantauan yang memiliki batas uang saku adalah bagaimanapun caranya aku harus terus kuliah dengan biaya seminimal mungkin. Jadi menurutku tidak salah aku punya fotokopiannya (kalau memang masalah royalty yang dipentingkan). Tapi aku seperti menyadari sesuatu yang lain. Untuk apa seorang mahasiswa membeli buku YANG DIKARANG OLEH DOSENNYA SENDIRI dan nama serta nim harus dicatat? Apakah ada pengaruhnya untuk mendongkrak nilai ujian? teman-temanku yang lain pun terpengaruh, bahkan ada salah seorang diantaranya yang mengatakan kepada petugas FO, " saya mau beli nilai !". Hahahaha. Ini yang dinamakan pendidikan di kampus ternama?

Yang aku sesalkan adalah dosenku ini pernah menulis artikel di koran yang judulnya Pendidikan yang Mengindonesia. Ini yang ia maksud sebagai pendidikan yang sesungguhnya? Membeli buku yang beliau karang dengan alasan sebagai bahan ujian akhir dan mencatat nama dan nim? Aku kesal. Mbok ya kalo sudah seperti itu janganlah jadi orang yang tahu budaya dengan baik. Budaya seperti ini salah Bapak Dosen Filsafat. Ini bukan pendidikan. Anda orang yang paham sekali kan hal-hal seperti ini, tapi kenapa Anda melakukannya? Setelah aku bertanya pada seniorku, ternyata ia memang telah menerapkan sistem ini sejak lama.

Aku hanya berharap bahwa apa yang aku pikir dan rasa dalam tulisanku kali ini hanyalah prasangka. Tapi apbila itu benar, aku hanya mampu menggelengkan kepala. Bukannya munafik, aku hanya tidak habis pikir, apakah seperti ini pendidikan yang berlaku sekarang?

Mohon maaf apabila ada yang tersinggung, aku bukan bermaksud menjelekkan. Aku hanya mengeluarkan pendapat yang ada di benakku sendiri.

Saturday, June 12, 2010

TRIP TO SOLO (seri LOKANANTA)

Sebenarnya post trip to solo terdiri atas berbagai subtitle, hahaha, karena bukan hanya satu atau 2 tempat yang aku kunjungi, jadi harap maklum jika banyak serinya.

Oke kunjungan ke solo ini awalnya merupakan study tour angkatan di kampusku, komunikasi UGM 2009. Aku dan KASKUSIAN 2009 (nama angkatanku) berangkat dari Jogja pada pukul 07.30 WIB. Kami menyewa 3 bis besar dengan kapasitas sekitar 50 org, ber-AC, dan ternyata, ada fasilitas untuk karaoke lengkap dengan tv. Hahaha, sayang sekali tidak ada yang menggunakan fasilitas tersebut.


Kami tiba di tujuan pertama yakni di LOKANANTA. Tempat ini merupakan studio rekaman yang sudah berdiri sejak awal kemerdekaan RI. Lokananta berlokasi di Jl. Jendral A.Yani no 379 Surakarta 57143. Lokananta juga berfungsi sebagai Perum Percetakan Negara RI cabang Surakarta.





Sekilas tidak ada yang berbeda dengan studio rekaman lainnya. Namun, studio yang bentuk bangunannya sederhana ini memiliki banyak sekali koleksi piringan hitam. Hal inimungkin disebabkan karena dulu belum ada studio rekaman di Indonesia. Jadi bisa dikatakan Lokananta ini merupakan studio pertama yang masih terus mempertahankan eksistensinya hingga saat ini. Aku sempat melihat koleksi piringan hitam di Lokananta. Ada puluhan rak tinggi besar yang digunakan sebagai tempat piringan hitam. Ada sekitar 2 atau 3 ruangan yang penuh dengan rak piringan hitam. Koleksi piringan hitam ini terdiri atas berbagai macam genre, mulai dari gamelan, keroncong, lagu perjuangan, dan masih banyak lagi. Tapi, sesuai dengan perkembangan zaman, studio ini sekarang sudah menggunakan sistem digital dalam pengoperasiannya.



Studio Lokananta sekarang masih digunakan terutama dalam pengolahan musik yang berhubungan dengan gamelan. Namun demikian mereka tidak menolak apabila ada permohonan dalam penggarapan musik yang sedang digandrungi zaman sekarang. Saat aku dan teman-teman diajak melihat ke dalam studionya, aku sangat kagum karena di dalamnya terdapat satu set lengkap peralatan gamelan dan ada alat band di ujung belakan studio. Alat gamelan tersebut masih terawat dengan sangat baik. Selain itu juga terdapat ruang pengoperasian rekaman yang juga tetap terawat dengan baik.

Kunjungan ke Lokananta merupakan pengalaman yang menyenangkan karena aku pun tahu bahwa masih ada studio rekaman yang masih tetap bertahan dengan perangkat gamelannya dan menjaga kekayaan budaya bangsa yang jumlahnya ribuan. Meskipun respon masyarakat terhadap studio ini masih sangat kurang, pegawai Lokananta tetap berusaha untuk mengembalikan dirinya seperti saat pertama kali didirikan.

Wednesday, June 9, 2010

Musik Instingtif nan Atraktif

Alunan melodi trio akustik eklektik saling bertaut menyuguhkan atraksi musik yang ciamik.


Lampu beraneka warna menghiasi panggung menggantikan kegelapan pekat yang merebak sesaat. Siluet tiga orang manusia setinggi lima meter melayang-layang di permukaan dinding batu Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta (TBY), mengikuti gerakan empunya. Campuran siluet dan lampu aneka warna itu bergabung membentuk tiruan video yang cantik. Emulasi video itu menjadi backdrop bagi penampilan trio akustik eklektik, The Trees and The Wild (TTaTW), dalam helatan Fallentine #3: Hasta Mañana—2 April lalu.

Acara yang rutin diadakan setiap tahunnya oleh Forum Musik Fisipol (FMF) UGM ini memancang kalimat, Yeah, it’s (never) too late to celebrate, sebagai slogan utama pesta. Sebuah slogan yang menegaskan bahwa Fallentine #3: Hasta Mañana adalah negasi bagi perayaan valentine, 14 Februari lalu. Bunga serta coklat yang biasa menjadi objek utama upacara diambil alih perannya oleh petikan gitar dan alunan musik. Lima band indie dipatok sebagai penghibur ratusan pengunjung yang memenuhi Amphiteater TBY malam itu.

TTaTW sendiri, sang primadona acara, seolah tampil merefleksikan namanya; teduh namun sesekali liar. Ekshibisi pertama mereka di Jogja ini dibuka dengan hentakan aroma jazzy pada lagu Berlin. Gelombang tepukan surut sejenak sebelum menggelora lagi ketika penonton digoda dengan alunan Malino, yang terdengar seumpama gemerisik ombak. Sebuah lagu indah tentang sebuah kerinduan, yang tercipta di tengah kelalaian sebuah kewajiban jadwal latihan,…—tulis personel band ini di situs jejaring sosial mereka.


Kata yang menjadi lagu berikutnya—dari delapan lagu yang dibawakan—sedikit menurunkan performa apik yang sedang dibangun. Suara sang vokalis, Remedy, terkesan sengau dan menggumam pada setlist ketiga dari TTaTW ini. Namun, kesan ini langsung terhapuskan ketika Honeymoon on Ice, yang terasa sedingin judulnya, mengalun. Lagu yang tercipta melalui impresi TTaTW terhadap film Eternal Sunshine of Spotless Mind ini kembali merebakkan euforia penonton. Noble Savage menambah ramai suasana dengan nuansa folk sebelum lagu berikutnya dihadirkan.

Gemuruh euforia penonton semakin menjadi-jadi saat TTaTW menyuguhkan unsur etnik pada nomor mereka selanjutnya; Our Roots. Lagu instrumental yang diawali dengan suara senandung perempuan—backing vocal TTaTW —ini cukup menghipnotis para penonton. Ketenangan menjelma menjadi gemuruh tepukan seketika saat penonton dikejutkan oleh not-not pentatonik yang dimainkan hingga menghadirkan suasana keroncong. Pesona keroncong yang menggelora pada Our Roots ditutup dengan deting gitar tempo cepat. Irama jaz muncul kembali kala Irish Girl dilantunkan. Performa apik mereka ditutup dengan ritme indah Derau dan Kesalahan yang diakhiri dengan deru petikan gitar akustik.

Eklektik, atau memilih yang terbaik dari berbagai sumber, tampaknya adalah kata ideal untuk menggambarkan tipe musik yang diusung TTaTW. Dengan meramu bermacam-macam jenis musik menjadi satu, Rasuk—album perdana mereka—lepas dari keterbatasan genre. TTaTW layaknya seekor gajah, dalam anekdot tiga orang buta yang mencoba mendeskripsikan gajah. Mereka membebaskan pendengar melabeli diri mereka sesuai dengan impresi setiap individu. “Memang dari awal enggak pernah nentuin aliran musiknya adalah ini atau ini. Bebas: kita main musik aja, enggak mikirin yang aneh-aneh,” tutur Remedy Waloni, sang vokalis.

Sebagai eklektikus TTaTW terbilang cukup unik. Bila eklektikus lain memilih segala hal dengan penuh pertimbangan, TTaTW sepenuhnya mengandalkan intuisi. Pemilihan nama contohnya, Remedy menuturkan alasan memakai The Trees and The Wild sebagai nama berawal dari kebutuhan akan nama band saat tampil di kampus. “Waktu itu butuh nama band, pengennya nama band-nya tuh panjang, terus kita ambil dari judul lagu Matt Pond PA; yang terkesan mistis gimana gitu,” tutur Remedy kepada BALAIRUNG selepas penampilan mereka.

Hal menarik lain adalah ketika kata The Trees and The Wild diketik di mesin pencari. Nama John Mayer acap kali muncul dalam artikel atau resensi tentang TTaTW. Suara Remedy yang dianggap mirip dengan penyanyi asal Amerika itu menjadi sebabnya. TTaTW dengan tegas menyanggah egalisasi tipe vokal ini, “John Mayer pun belum tentu bernyanyi seperti Remedy saat membawakan Malino,” gurau Iga Massardi, salah satu personel TTaTW. Penyamaan ini menunjukkan bahwa kritikus-kritikus musik Indonesia masih terjebak pada proses kolase—membanding-bandingkan untuk menentukan yang asli. Para kritikus dan reviewer memandang musik TTaTW bukan sebagai karya baru yang fresh from the oven, melainkan karya epigon semata. Mereka lupa bahwa ada predikat indie yang melekat pada TTaTW. Sebuah label yang menegaskan bahwa musik TTaTW bukanlah musik epigon raja-raja RBT, yang biasa berkicau di acara televisi pagi hari.

Penampilan TTaTW di Amphiteater TBY sendiri secara keseluruhan cukup memukau. Namun, performa yang apik itu masih diwarnai problem konvensional band indie; kontak dengan penonton. Band dan penonton bisa saling berkomunikasi bila lagu dan lirik familiar bagi mereka. Sebuah persyaratan yang belum dipenuhi oleh TTaTW, karena tak semua pengunjung hafal lagu mereka. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi bila TTaTW lebih atraktif untuk mengajak penonton bernyanyi bersama pada Derau dan Kesalahan yang anthemic. Bagaimana performa band akustik eklektik ini selanjutnya? Hasta Mañana—tajuk dari acara—seolah menjawabnya. Sebuah idiom, dari bahasa Spanyol, yang sering diusung oleh TTaTW dalam pertunjukannya, yang berarti: “sampai bertemu besok”.

[Ratri, Apé, Pepri]

Artikel ini dapat dilihat juga di http://www.balairungpress.com/content/musik-instingtif-nan-atraktif

Tuesday, June 8, 2010

Mendadak Tajir (Seri Phuket)

hemmm. gatau kenapa mendadak terpikir untuk menulis seri tentang makan-makanan mahal di Jogja. hehe. Yah, maklum sebagai anak kos aku harus memahami keadaan kantong. Apalagi untuk makan. Nah yang aku mau tulis sekarang adalah pengalaman makan di restoran Thailand, PHUKET.

Nah, di Jogja, Phuket membuka 3 cabang:
pertama, Jl.Ring Road Utara RUKO PANDEGA PERMAI No.5
kedua, Jl. Dr. Wahidin No. 8 Klitren
ketiga, Jl. HOS Cokroaminoto No. 240 Tegalredjo
tempat yang aku datangi kali ini, terletak di daerah Godean, kalo ga salah tempat yang kedua itu, Jl. Dr. Wahidin.

Menu yang disediakan disini berbagai macam, mulai dari Tom Yam, tumis daging sapi, sayur kangkung, dan lain-lain dengan bumbu-bumbu khas Thailand. Kisaran harganya tidak terlalu mahal sebenarnya, yah buat anak kos boleh lah sebulan sekali makan disini. hehehe. Menu yang disediakan biasanya bukan untuk personal, jadi bisa langsung dipesan untuk 3 orang. Jadi pilih menunya bisa bareng-bareng. Pengalaman makan kemarin sih, untuk 6 orang, kami menghabiskan uang tidak sampai Rp 150.000. Yah kalo diitung, per orang cuma keluar 20ribu lah. Standar kan? Ini saya sertakan daftar harga menunya.

Nah, pada kesempatan kemarin, aku sama temen-temen pesen Tom Yam Ayam, Tom Yam Seafood, Sapi Lada Hitam, Ayam Bakar Phuket, Tumis Kangkung ala Phuket, sama minuman (es teh, lemon tea, bla bla bla). Yang paling juara menurutku adalah Tom Yam Seafood. Mantap. Rasanya asam manis, kuahnya segar, ada rasa rempah-rempahnya, isinya ada udang, kerang, jamur, sayur-sayur, campur-campur deh pokoknya. Kata orang-orang sih emang yang juara itu Tom Yam nya. hehehe. Tapi ga nyesel ko untuk pesen Tom Yam itu. Dijamin.
Sapi Lada Hitamnya juga enak bagi yang suka lada. Karena aku tergolong penikmat lada, aku enak enak aja makannya. tapi kalo yang ga terlalu doyan pedes, disarankan jangan pesen itu. hahaha.
Kalo ayam bakarnya menurutku biasa aja, yah selayaknya rasa ayam bakar biasa lah. Cuma yang beda disini adalah sambelnya. Sambel khas Thailand mungkin, aku juga gatau. Tapi rasanya enak ko walapun agak aneh kalo ga biasa.

Oke. sekian laporan kulinerku kali ini. Apa yang aku tuliskan disini hanya sebagai referensi kunjungan kalo kalian ke Jogja. Tapi apa yang aku bilang disini belum tentu sesuai dengan apa yang Anda rasakan, karena ini menurut pendapat lidahku. Apapun itu, cobalah, karena rasa tidak pernah bohong. hehehe.

Suroloyo oh Suroloyo

sebenarnya aku sudah cukup lama mengunjungi tempat ini, kalau tidak salah sekitar bulan oktober 2009. hehehe. tapi berhubung waktu itu belum punya blog, jadi tertunda deh ceritanya.

Sebagai mahasiswa baru di UGM, otomatis aku sangat haus untuk berkunjung kemana-mana. Tapi hal itu agak sulit diwujudkan karena aku belum memiliki kendaraan sendiri dan tidak mengerti jalanan Jogja. Sampai akhirnya aku mendapatkan tugas dari mata kuliah Dasar-Dasar Penulisan. Dosenku memberikan tugas penulisan berita tentang laporan perjalanan per kelompok. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk pergi ke PUNCAK SUROLOYO. Mengapa tempat itu yang kami pilih? Alasan yang sangat sederhana, kami mencari objek wisata yang belum pernah dikunjungi dan belum banyak masyarakat yang tahu tentang objek ini.

Perjalanan pun dimulai. Aku, Afnan, Aip, Ayu, Yudha, Tebo, dan Arif. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 90 menit dari kota Jogja. Puncak Suroloyo berada di Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, 45 km dari Yogya/Wates. Tapi sepertinya saat itu perjalan ditempuh lebih dari 2 jam, karena motor Tebo mogok dan sempat nyasar beberapa kali.


Jalanan yang ditempuh berkelak-kelok (seperti jalanan di Puncak, tapi lebih parah menurutku). Meskipun lebar jalan tergolong sempit, tetapi jalan sudah diaspal, sehingga.. tidak terlalu sulitlah untuk dilalui.

Kelelahan yang amat sangat (terutama pada bagian bokongku, rasanya tepoooosss) ternyata terbayarkan setelah sampai di puncak Suroloyo. Kita harus meniti tangga dulu untuk sampai ke bagian puncak. Tangganya cukup panjang, mungkin terhitung hingga ratusan. Yah, sekitar 200 sepertinya. Gempor memang. Tapi aku jamin, pemandangan dari Puncak tertinggi Kulon Progo akan membayar semua kelelahan tersebut.



Mungkin foto-foto yang aku tunjukkan disini kurang begitu menarik, karena aku memang bukan orang yang senang fotografi. Tapi, sebagai orang yang senang jalan-jalan, aku memberikan rekomendasi bagi kalian untuk mengunjunginya. Aku jamin kalian tidak akan menyesal, hehehe. Mengutip kata Pak Bondan, "tetap sehat, tetap semangat, biar bisa jalan-jalan."

Monday, June 7, 2010

KESADARAN DARI PERAHU KERTAS

seharian ini, dari pagi hingga saat aku mulai menulis post ini, aku menyelesaikan novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari (Dee). aku tahu memang sangat telat baru membacanya sekarang (melihat novel ini dicetak pada Agustus 2009). Tapi saya merasakan perasaan emosional yang campur aduk selama membaca novel ini. Meskipun akhir cerita terkesan biasa saja, tapi jalan ceritanya sangat menarik, menurutku.
Hal yang ingin aku ceritakan disini bukan ringkasan ceritanya, bukan apapun tentang novel ini. Melainkan, apa yang aku rasa dan sadari, tentang segala hal, keluarga, sahabat, dan cinta.

Urutan perasaan yang campur aduk aku rasakan bermula pada bagian tokoh-tokoh novel (Kugy, Noni, dan Eko) yang merupakan sahabat dari kecil mengalami permasalahan yang berujung pada keengganan berkomunikasi yang berlangsung lama. Persahabatan yang begitu manis, hancur hanya karena salah paham yang sepele. Akibat sikap enggan untuk terbuka satu sama lain (karena merasa lebih baik tidak berpendapat). Saat aku membaca bagian ini aku merasakan kerinduan akan memiliki seorang sahabat. sahabat yang benar-benar memiliki ketulusan untuk menyayangiku sebagai sahabat. Tidak peduli siapa aku, sifatku, statusku. Sahabat yang menerimaku apa adanya. Tidak mudah memang memberikan title sahabat pada seseorang, dan aku mengakui, sampai saat ini sepertinya belum ada orang yang saya pilih menjadi sahabat. Tapi mendadak rasa rinduku akan seorang temanku kala SMP pun timbul. Orang yang penuh rasa humor, selalu menyempatkan diri untuk bertemu denganku, dan selalu mencariku untuk berbagi masalah dan kekesalan. Walaupun dikala senang ia terkadang melupakanku, tapi aku cukup nyaman berteman baik dengannya sampai saat ini. Perahu Kertas membimbingku untuk mengenali seperti apa rasanya punya sahabat yang sesungguhnya. Persahabatan yang tak akan pernah mati. Dan aku berharap bisa memberikan title Sahabat untukmu,MUHAMMAD RIZQY RAMADHAN.


Selanjutnya, aku rindu keluargaku.
BAMBANG PURWO SRI SEDONO, terimakasih telah menjadi sosok ayah yang baik (walaupun kadang menyebalkan) sampai detik ini. Terimakasih telah menunjukkan rasa sayangmu dengan menempel surat ucapan ulang tahun untukmu yang aku tulis dengan sangat sederhana. hehe. Terimakasih atas perhatianmu yang senantiasa bertanya tentang kabar kuliahku. Terimakasih untuk segalanya yaa. Disela celaanmu, ejekanmu, dan kemarahanmu, aku sadar bahwa ada cinta yang mendalam disana. TERIMA KASIH BAPAKKU.

ENNY SUKILAH
, terimakasih karena telah menjadi sosok ibu kebanggaanku sampai kapanpun, aku bangga mewarisi sedikit dari kepribadianmu, sifatmu, dan pendirianmu. Mungkin aku sudah berulang kali membuatmu merasa sedih akibat tingkahku yang suka ngambek, tapi aku tetap berterimakasih karena telah memaafkanku. Dibalik kekesalanmu karena aku gemar menggodamu, aku tahu kau sangat kehilangan apabila aku tidak dirumah (hahaha). TERIMA KASIH IBUKU.

BAYU TARUNA WIBISONO.
mungkin lo orang terakhir yang suka gue pikirin, tapi setidaknya gue mikirin kan? hahaha. makasih ya udah selalu nemenin gue berantem, mau nganterin gue kemana-mana, terkadang gue merasa kita bisa lebih deket sebenernya, tapi kurang yakin aja untuk selalu terbuka walopun dalam hal sekecil apapun. makasi udah mau dengerin nasehat gue (kadang-kadang). makasi udah menyisihkan uang untuk membelikan gue parfum-parfum biang kebanggaan lo. makasi buat... apa lagi ya? makasi deh. TERIMA KASIH MASKU.

terakhir masalah cinta. aku tidak berminat untuk membahas ini dalam jumlah yang banyak, karena jujur, dalam novel ini hanya ada sedikit hal yang membuat aku mengerti tentang sedikit dari kerumitan cinta:
"Hati tidak memilih, melainkan dipilih."
"Hati itu diberikan, bukan diminta"

Hari ini aku mendadak merasakan kerinduan yang teramat sangat pada semua orang yang aku rasa menyayangiku. Semoga mereka juga merasakan kerinduan yang sama. Amin.
 

Blog Template by YummyLolly.com